Tor-Tor berasal dari
suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak
dengan iringan Gondang.
Sejarah dan Makna
Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata Tor-tor berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. \\\"Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui,\\\" (Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor, National Geographic Indonesia, 14/6/2012).
Dalam Tari Tor-Tor ada tiga pesan ritual yang utama. Pertama-tama, takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur, imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.
Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.
Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.
Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.
Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.
Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara, imbuh Togarma.
Gerakan dan Jenis Tari Tor-Tor
Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain.
Menurut sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan \\\"masuk\\\" ke patung-patung batu (merupakan simbol leluhur).
Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
Jenis tari tor tor beragam. Ada yang dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya. Selanjutnya ada tari tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja.
Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Terakhir, ada tor tor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah.
Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah. Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia.
Ragam Tor-tor
Jenis tarian tor-tor banyak ragamnya, yakni:
Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata Tor-tor berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. \\\"Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui,\\\" (Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor, National Geographic Indonesia, 14/6/2012).
Dalam Tari Tor-Tor ada tiga pesan ritual yang utama. Pertama-tama, takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur, imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.
Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.
Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.
Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.
Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.
Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara, imbuh Togarma.
Gerakan dan Jenis Tari Tor-Tor
Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain.
Menurut sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan \\\"masuk\\\" ke patung-patung batu (merupakan simbol leluhur).
Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
Jenis tari tor tor beragam. Ada yang dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya. Selanjutnya ada tari tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja.
Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Terakhir, ada tor tor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah.
Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah. Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia.
Ragam Tor-tor
Jenis tarian tor-tor banyak ragamnya, yakni:
- Tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya.
- Tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung).
- Tor tor Tunggal Panaluan . Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah. Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah.
Tor-Tor pada jaman sekarang untuk orang Batak tidak
lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi menjadi sebuah seni karena
Tor-Tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar