Minggu, 01 November 2015

Pakaian adat Banten


Dulunya Banten adalah bagian dari Jawa Barat. Tetapi sejak tahun 2000, Banten memisahkan diri dan menjadi Provinsi Banten. Dari sisi kebudayaan Banten dan Jawa Barat memiliki kemiripan, begitu pula dengan pakaian adatnya. Meski begitu, Banten tetap memiliki ciri kebudayaan tersendiri. Salah satunya adalah pakaian adat Banten. Baju yang dikenakan masyarakat Banten sering disebut dengan baju pangsi. Sementara celananya disebut dengan celana komprang yang panjangnya sebatas mata kaki atau sampai betis. 


Dulu pakaian semacam ini sebenarnya juga sering digunakan oleh masyarakat Jawa Barat Sunda dalam kesehariannya, terutama pada saat melakukan pencak silat. Makanya, mengenakan pakaian adat ini seperti seorang jawara. Tapi, masyarakat Jawa Barat sudah jarang mengenakan pakaian semacam ini. Sementara masyarakat Banten, terutama suku Baduy masih menjaga kelestarian pakaian adat ini.
Masyarakat Baduy masih mengenakan pakaian adatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Baduy adalah sebutan bagi suku di Banten. Baduy merupakan ciri khas bagi sebuah suku Banten. Baduy di Banten memiliki dua suku, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Pakaian adatnya sama, hanya saja warna yang menjadi ciri khas berbeda. Baduy Dalam sering mengenakan pakaian adat berwarna putih yang melambangkan kesucian. Sementara Baduy Luar mengenakan pakaian adat berwarna hitam.
Para pria Baduy Dalam memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang karena mereka mengenakannya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian dada. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pakaian yang dijahit sangat sederhana, bajunya tidak terdapat kancing. Selain itu juga, masyarakat Baduy mengenakan ikat kepala berwarna putih atau hitam. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang. Pakaian adat mereka lebih sederhana, dan lebih mengutamakan pendekatan alam, baik dari karakter busananya maupun warna polos yang dikenakan.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan, tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagian bawahnya menggunakan kain sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain.
Adapun pakaian Baduy Luar, mereka mengenakan baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.
Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar menunjukan, bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Pakaian bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek di pundaknya.
Sedangkan pakaian yang dikenakan kaum perempuan Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah.
Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.

Masyarakat suku Baduy menenun sendiri pakaian adatnya yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan mulai menenun setelah masa panen. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Di samping pakaian adat yang dijelaskan di atas, batik juga menjadi pakaian adat masyarakat Banten. Batik Banten bisa banyak ditemui di Kota Serang Banten. Meskpiun batik sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, tapi batik Banten memiliki ciri khas yang berbeda dengan batik lainnya. Ciri khas tersebut utamanya terletak pada motif warna. Warna batiknya nampak meriah, sesuai dengan katakter masyarakat Banten pada umumnya yang kuat, semangat dan penuh dengan harapan. Warna batiknya juga memiliki perpaduan warna yang sesuai dengan pengaruh air bawah tanah.
Batik Banten dipatenkan setelah mengalami pengkajian di Malaysia dan Singapura. Kajian ini diikuti oleh 62 negara di dunia. Hasilnya adalah, batik Banten meraih predikat terbaik sedunia. Bahkan batik Banten menjadi batik pertama yang memiliki hak paten UNESCO. Kini batik Banten telah tersebar di berbagai negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar